Ketiadaan Insentif Jadi Dasar Kemalasan Pelayanan Kesehatan di Mentawai

Ketiadaan petugas kesehatan menyebabkan seorang ibu muda, Armida Sakiadat (20), penghuni huntara di KM 32 Dusun Sabiret, Kawasan HPH Minas Pagai menggunakan jasa dukun kampung untuk melahirkan jabang bayi yang masih berumur 6 bulan.

Dukun kampung gunakan persalinan plasenta. Itu nyaris saja membawa malapetaka, sebelum tim medis Ibu Foundation memberi pertolongan.

Akses kesehatan bagi pengungsi sungguh mengkhawatirkan. Radius 40 kilometer yang harus ditempuh untuk menuju Pukesmas Sikakap serta program yang tidak jelas dari pemerintah, membuat Armida tidak pernah memeriksakan kehamilannya selama hamil.

Ketiadaan disaat masyarakat membutuhkan pertolongan medis ini, Kepala Puskesmas Sikakap Marinus beralasan petugas Puskesmas Sikakap saat itu sedang belanja di Sikakap untuk membeli ransum.

Dia juga menampik kalau selama ini petugas Puskesmas Sikakap kurang melakukan pelayanan medis untuk pengungsi di Pagai Selatan yang merupakan wilayah jangkauannya.

Bahkan, insentif dijadikan alasan pembenaran kemalasan dalam melakukan pelayanan kesehatan untuk korban tsunami yang telah direlokasi.

“Kita sedikit kecewa, karena selama masa tanggap darurat, petugas medis tidak dapat insentif dari pemerintah,” ujarnya

Marinus menambahkan, posko kesehatan dari KM 39 hingga KM 44 ada 1 unit. Sementara di KM 27 Balekrasok ditempatkan 8 petugas desa. Sedangkan di KM 37 ada dua orang petugas kerjasama dengan NGO.

Obat yang banyak tersedia adalah anti biotik, parasetamol, dan obat batuk.

“Stok obat di Puskesmas, kalau normal bisa tersedia hingga Juni,” kata Staff Puskesmas Sikakap Syamsul.

Wilayah Mentawai yang terkena imbas tsunami ini terdapat 2 unit Puskesmas yakni di Sikakap dan Saumangayak.

Beberapa NGO yang menangani masalah kesehatan pengungsi mengatakan keterbatasan pusat kesehatan ini menjadi salah satu sebab kematian 2 balita di lokasi pengungsi Mapinang Utara akibat diare pada pertengahan Februari ini.

Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, Zulkifli dari Yayasan Air Putih mengatakan, Dinas Kesehatan Mentawai sering diundang untuk rapat koordinasi tapi tidak pernah hadir.

Dokter Umum relawan Green Music Foundation (GMF) Andri Prasetya menjelaskan, NGO hanya sementara, dan kita ingin memandirikan pengungsi soal kesehatan.

“Kita selalu koordinasi dengan pemerintah dengan cara membuat laporan secara reguler, tapi ketika dilaporkan pada Puskesmas tak ada respon,” ujarnya.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Mentawai Tomar Sabola mengaku sedikit kecewa dengan NGO.

“Pada masa awal tanggap darurat, NGO datang bagai tsunami, namun, sekarang mereka dialihkan bagai tsunami juga,” jelasnya.

Dia menambahkan untuk keseluruhan Mentawai hanya ada 3 dokter umum dan 2 dokter gigi.

“Sejak tsunami, petugas dinas kesehatan sekali seminggu melakukan kunjungan ke titik relokasi,” katanya.

Untuk memudahkan akses kesehatan, mereka dialihkan dengan melakukan penempatan petugas dilapangan. 2 orang di Balekraso, 2 orang KM 37, 2 orang di KM 40, 1 orang di Parak Batu, 2 orang di Sinaka, dan 2 orang di Pustu Trans Tekako.

“Kita berusaha menempatkan petugas,” katanya.

Soal kematian balita akibat diare di Mapinang Utara, Dokter Tomar, menganggap karena kelalaian keluarga, faktor ekonomi, dan faktor ketidaktahuan.

Selain diare, pengungsi Mentawai telah beberapa kali diserang oleh penyakit campak dan busung lapar.

Terakhir, Mitra Peduli merilis, sebanyak 40 orang balita menderita gizi buruk dibeberapa dusun seperti Silabu, Balekrasok, Bulakmonga, Sabeugunggung, Muntei, Baru-Baru, dan Makailigri.

Manager Proyek Mitra Peduli Mentawai Dr Louisa A. Langi berharap, kedepannya, ada upaya berbentuk kebijakan untuk mengurangi penyebaran gizi buruk serta antisipasi penyakit lainnya.

Harapan dari beberapa NGO tersebut sebetulnya mulai direspon oleh petugas kesehatan pemerintah. Seperti, menempatkan mobil ambulance di relokasi Pagai Selatan.

Namun, Marinus mengatakan, Puskesmas Sikakap tidak punya dana operasional serta operator untuk menjalankannya. Maka, dia berharap ada NGO yang mau mengambil alih pengoperasiannya.

“Kalau ada NGO mau memakai, silahkan, tapi harus bisa menanggung penyeberangan dari Sikakap menuju Dermaga Polaga senilai Rp 5 juta. Untuk di Pagai Selatan juga menjadi tanggungan NGO,” katanya.

Jika pemerintah selalu bicara dana operasional dan insentif, maka NGO dalam dedikasi pelayanan kesehatan selama empat bulan terakhir berjalan tanpa angan-angan untuk mendapatkan insentif.

Tinggalkan komentar