Mitigasi Tata Kota Padang Berlandaskan Kearifan Lokal

Gempa yang sering mendera Kota Padang secara khusus dan Sumatera Barat secara umum adalah referensi terbaik untuk dijadikan sebagai acuan untuk penataan Kota Padang yang lebih baik. Pengambil kebijakan Kota Padang hendaknya bisa melakukan penataan ruang yang berbasiskan kearifan lokal pasca gempa 30 September tahun kemaren. Kearifan lokal disini adalah penyusunan tata ruang kota yang berpihak pada masyarakat dengan memperhatikan lingkungan sekitar. Dalam hal ini, aspek kepentingan masyarakat kota tetap menjadi pertimbangan utama, sebagaimana tertuang dalam UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Kota.

Perencanaan tata ruang kota bukan hanya dalam wujud fisik, tapi juga menyangkut banyak aspek, seperti aspek sosial-budaya, aspek politik dan aspek lingkungan. Rencana pemindahan pusat pemerintahan Kota Padang ke daerah Aie Pacah atau ke wilayah Kuranji perlu dikaji ulang agar tidak tidak menimbulkan kerugian pada aspek tersebut. Jika eksodus pusat pemerintahan dilakukan terlalu cepat tanpa sosialisasi, degradasi kearifan lokal masyarakat Aie Pacah adalah resiko yang paling memungkinkan terjadi. Sebagai catatan, masyarakat Aie Pacah adalah komunitas yang masih mempertahankan unsur kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari.
Perencanaan tata ruang kota yang berlandaskan kearifan lokal adalah bagian dari upaya mitigasi (Tindakan terencana untuk mengurangi dampak bencana) terhadap ancaman bencana, seperti gempa. Konsep jalur-jalur pelarian ketika terjadi tsunami perlu direvisi kembali. Jalur-jalur yang terlalu kecil dibutuhkan pelebaran agar tidak menghambat laju masyarakat ketika ingin lari dari ancaman tsunami. Jalur-jalur ini juga harus disokong dengan penambahan sejumlah jembatan baru yang melintasi sungai atau banda bakali. Ambil contoh jalur Siteba-By Pass. Jalur ini bukan solusi ketika terjadi ancaman tsunami karena terlalu sempit. Jadi, pemanfaatan lahan ketinggian di pinggir pantai, seperti Gunung Padang adalah alternatif lain untuk menghindari bencana.
Selain itu, pemanfaatan gedung-gedung yang lebih tinggi adalah hal yang paling memungkinkan. Pemusatan gedung-gedung perkantoran di sepanjang Jalan Sudirman dan Khatib Sulaeman adalah upaya mitigasi bencana yang sangat tepat dengan catatan memperhatikan aspek ketahanan bangunan terhadap serangan gempa. Hancurnya beberapa gedung pemerintahan di sepanjang jalan tersebut pada gempa besar kemaren bisa jadi pelajaran betapa spek bangunan tidak terlalu kuat menahan goncangan gempa dalam skala besar. Makanya, pihak yang berkepentingan melakukan pembangunan gedung di kawasan tersebut, hendaknya merancang bangunan yang punya spek tahan gempa atau setidaknya bisa meminilisisasi kerusakan akibat gempa. Karena kebutuhan gedung-gedung perkantoran di Kota Padang bukan hanya sebagai pemenuhan ruang untuk bekerja atau sebagai cerminan estetika Kota Padang, tapi juga alternatif untuk ruang evakuasi ketika bencana besar menghampiri.
Perencanaan merupakan aktivitas yang multidisiplin, sistematis dan terintegrasi. Menurut Respati Wikantiyoso, perencanaan mengandung tujuan kebijaksanaan, rencana, prosedur dan program-program. Kebijaksanaan perencanaan yang menyangkut peruntukan tanah, akan membawa konsekuensi terhadap perencana kota. Peran perencanaan tata ruang kota dalam upaya mitigasi dampak gempa bumi sangat penting dalam upaya memberi perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat. Ahli tata kota dan bangunan Jepang, Ishikawa (2002) menjelaskan, penataan urban landscape bertujuan untuk memberikan ruang evakuasi, serta ruang penyelamatan korban gempa. Konfigurasi ruang kota dengan unsur bangunan tinggi, kepadatan bangunan, serta memperbanyak ruang terbuka sangat diperlukan dalam mengurangi korban akibat gempa bumi. Pengelolaan kawasan kota seperti ini dapat juga mengantisipasi pola perkembangan kota yang semakin membutuhkan keseimbangan ekosistem, baik itu lingkungan alam maupun lingkungan buatan.
Jalan Berdasarkan Alur Sungai
Secara historis, pemukiman kota Padang tercipta pertama kali di bantaran muara Batang Arau pada abad-15. Lambat laun, bantaran Batang Arau semakin padat dan pengembangan pemukiman menjajaki wilayah Pondok, Belanti (Jalan Sudirman). Kedatangan Belanda pada tahun 1667 dengan disertai pembangunan loji-loji di kawasan Batang Arau, menjadikan Padang sebagai sentra perekonomian di wilayah Pantai Barat Sumatera. Tidak hanya itu, perkembangan kota Padang telah memicu eksodus penduduk dari pedalaman Minangkabau menuju kota Padang.
Belanda tidak hanya pelopor dalam pengembangan Padang sebagai basis perekonomian di Pantai Barat Sumatera, tapi juga mewariskan tata ruang dan tata kota yang berlandaskan lingkungan dan karakterisktik alam Padang sendiri. Pemerintah kolonial Belanda membangun banda bakali dalam upaya mengatasi banjir. Ini tidak terlepas dari keadaan geografis Padang yang terletak di tepi pantai dan muara dari beberapa sungai yang sangat rentan dari banjir. Banda Bakali sangat ampuh dalam upaya membendung dan memecah aliran sungai terhadap kemungkinan banjir.
Selain itu, sungai-sungai serta banda bakali yang mengaliri Padang bisa dijadikan solusi jalur transportasi sebagai elemen penting dalam penataan kota. Pembangunan jalan mengikuti kontur sungai sangat memungkinkan untuk mengatasi jalur transportasi Kota Padang yang semakin padat dipenuhi kendaraan. Pembangunan jalan disini bukan seperti yang ada sekarang, dimana jalan dipinggir sungai-sungai hanya berfungsi sebagai jalan tikus, tetapi jalan yang memang diperuntukkan sebagai jalan raya atau jalan arteleri yang dilalui kendaraan besar dan kecil. Sebagian bus kota dan angkutan kota diupayakan melewati jalur ini karena untuk menciptakan transportasi yang ideal, memusatkan angkutan kota mengelilingi pasar bukanlah sebuah keharusan. Pinggiran sungai yang bisa dimaksimalkan untuk jalur ini diantaranya, bantaran banda bakali, dari Lubuk Begalung- Simpang Haru- Jati- GOR H.Agus Salim. Dari GOR H. Agus Salim, kendaraan tersebut bisa menuju pasar melalui jalan Veteran dan jalan Pemuda. Selain Banda Bakali, sungai lain yang bisa dimanfaatkan adalah Batang Kuranji yang melewati wilayah Koto Tangah. Pemanfaatan pinggiran sungai sebagai jalan raya, bukan hanya sebuah solusi untuk mengatasi kelancaran transportasi yang semakin amburadul, tapi juga penambah estetika Kota Padang dan tentunya sebagai ruang wisata baru.

Jalan Menuju Pusat Pemerintahan Baru
Jalan merupakan pilar utama untuk mengkonsepsi pola tata ruang suatu kota. Pembangunan jalan mengikuti kontur sungai, merupakan suatu keuntungan bagi Kota Padang dalam merancang tata kota yang ideal. Rencana pemindahan pusat pemerintahan Kota Padang ke daerah Aie Pacah, tentunya harus diikuti dengan pembangunan sarana dan prasarana pendukung. Jalan yang lebar merupakan salah satunya. Pusat pemerintahan baru akan terasa lebih hidup jika didukung oleh akses transportasi yang lebih lancar dan memudahkan. Pelebaran jalan disepanjang sungai Batang Kuranji adalah jawaban ynag tepat untuk mendukung pengembangan pusat pemerintahan yang baru.
Jalur itu, nantinya akan dilalui oleh angkutan kota sebagai pembawa penumpang menuju pusat pemerintahan baru. Angkutan kota juga akan turut serta meramaikan pusat pemerintahan baru. Mungkin imajinasi ini terlalu mahal untuk diwujudkan, tapi adalah solusi yang paling nyata untuk mewujudkan pusat pemerintahan baru Kota Padang.